Tuesday, July 21, 2015

Iri

0 comments



Iri,

Iriku kepada semua orang yang tampak bahagia bersama, seakan akan menertawakanku, seakan mereka mengetahui sakitku namun tak peduli. Daun daun yang saling memukul tertiup angin pun seakan mengejekku, menamparku hingga terjatuh ke tanah berdebu. Aku tak mengerti apa salahku, apa karena aku berbeda ? Apa Tuhanmu yang mengajarkan untuk membedakan ?

Mungkin jika iya jawabannya, aku takkan berkata lagi. Aku mengerti kenapa kau memperlakukan orang seperti itu. Itu bukan salahmu, mungkin salah ajaranmu, apa mungkin salahku yang tak dapat menerima, mungkin juga salahku yang tak tau diri.

Bisa jadi karena aku hidup terlalu lama sendiri, aku yang tak dapat lagi di kontrol seperti mobil mainan seharga 45 ribu yang dijual di supermarket dekat rumah dulu. Tombol maju mundur kiri kanan pada remote bulat itu tak lagi dapat mengarahkan aku ke mana aku harus pergi.

Aku seorang manusia independen, seorang pekerja idealis, seorang pelajar anarkis, seorang remaja rasionalis namun tak pluralis. Aku mulai belajar tidak menerima perbedaan, memang mungkin manusia diciptakan rasis, agamais, atau apa pun namanya itu. Mungkin kita memang harus hidup membeda bedakan orang. Aku bersyukur tak hidup di keluarga yang taat, mungkin itu alasannya aku seperti ini dan aku bahagia.

waktu berlalu meninggalkan kenangan, namun selalu memberikan harapan. nasi yang sudah menjadi bubur mungkin tidak akan menjadi nasi lagi, namun selalu ada harapan, mungkin tidak sekarang, tapi suatu saat nanti.

mungkin tak selayaknya aku menginginkan itu, mungkin itu bukan untukku, mungkin aku harus percaya nasihat omong kosong orang orang tua, yang jelas aku iri. aku ingin di sana, aku ingin seperti mereka.

aku iri.